PETIYINTUNGGAL-SHARE

salam sejahtera oleh petiyintunggal community group

Minggu, 21 April 2013

Radar Taiwan : Mengintip Pertanian Modern Taiwan


Hamparan sawah seluas satu hektar, hanya memerlukan waktu tiga jam dalam menanam padi, jika menggunakan mesin tanam padi seperti yang ada di Taiwan. Dengan pola tanam tersebut tentu dapat menghemat tenaga kerja, waktu serta yang menggiurkan adalah hasil panen yang memuaskan.Per hektar mampu menghasilkan 12 ton gabah.

Sistem pertanian modern di Taiwan, agaknya menjadi daya tarik bagi Kepala KDEI Taipei.Sehingga walau harus menempuh perjalanan sekitar 3 jam antara Taipei Changhua, bapak dua putra ini tetap semangat mengikuti arahan dari konsultan teknik Chang Kuo-An saat mengunjungi para petani Taiwan beberapa waktu lalu.

Dalam paparannya Mr. Chang menjelaskan, jika pertanian di Taiwan sistem menanam padi sangat jauh dengan sistem yang ada di Indonesia.Jika petani Indonesia dari bibit di semai dihamparan persemaian. Setelah persemaian tumbuh dengan memakan waktu kira-kira 15 hari barulah bibit padi di cabut(di daut) dari persemaian. Setelah itu padi baru di tanam diatas lahan. Dalam satu hektar cara penanaman ini memerlukan waktu seminggu dan membutuhkan tenaga kerja sekitar empat atau lima orang.

Menurut  Mr. Chang, jika sistem tanam seperti petani di Indonesia yang di jelaskan diatas, tentu ada beberapa kekurangannya. Diantaranya, bibit padi yang telah tumbuh di media semai, lantas di cabut lagi lalu di tanam di lahan sawah, tentu akan kurang bagus hasilnya. Karena padi yang di cabut akan stress dan untuk pulih memerlukan waktu seminggu. Induknya sudah tumbuh, anakannya baru tumbuh seminggu lagi. Selanjutnya bibit yang di cabut akar-akarnya akan tertinggal di lahan persemaian kira-kira bisa 40 persennya. Jadi ada 40 persen bibit yang hilang.Hal ini tentu akan mempengaruhi hasil produksi.
Namun jika menggunakan sistem ala pertanian Taiwan, bibit padi di semai di sebuah wadah pot persegi empat dengan ketinggian 2 cm. Media tanam menggunakan campuran tanah humus, batu bata merah yang telah di haluskan dan sekam. Gunakanya untuk menghemat tanah dan memberi pori-pori pernafasan bibit. Selanjutnya campuran padi dan pupuk di semaikan diatas media tanam.Hanya memerlukan waktu sembilan hari bibit-bibit padi sudah bisa di tanam di atas lahan sawah.

Cara tanam dengan menggunakan mesin tanam ini hanya memerlukan waktu tiga jam per hektar. Menggunakan mesin tanam ini, selain lebih efisien waktu dan tenaga juga membuat tanaman rapi, karena secara otomatis mesin telah memisah-misah bibit dengan jumlah yang sama dan dalam garis yang sama pula.Dengan menggunakan system ini, akan memperpendek proses olah, tanam dan petik. Mulai dari persemaian hingga panen petani akan merasakan jika dengan system ini akan lebih menguntungkan.

Keunggulan teknologi pertanian  Taiwan ini, karena proses pertanian di dukung dengan mesin yang seluruh prosesnya tidak banyak menyerap tenaga manusia. Seperti yang terlihat di lokasi, jika terdapat dua ruang yang terdapat mesin pompainer. Satu ruang khusus untuk mencampur tanah gabah dan pupuk, serta satu ruang lagi sebagai tempat pencetakan bibit.MenuruT Mr. Chan jika mesin pompainer berfungsi untuk menjaga mutu  bibit yang di tanam.Sementara mesin-mesin ini mampu menghasilkan produksi bibit sekitar 3000 dapot per jam.

Suhartono dalam kunjungannya juga sempat menjalankan mesin tanam padi.Menurutnya mesinnya mudah dijalankan, dan jika petani Indonesia menggunakan mesin ini, diharapkan Indonesia bakal menjadi negara surplus akan pangan. Mengingat lahan di Indonesia masih cukup luas sementara tak di manfaatkan dengan baik.” Jika saja Indonesia mengadopsi sistem pertanian seperti ini, mungkin cerita soal import beras tak ada ceritanya lagi. Terutama bagi petani, yang bakal merasakan manfaatnya karena panen bisa tiga kali dalam setahun karena pendeknya waktu.Selain itu tenaga kerja muda, yang mungkin malu bekerja di sawah dan memilih ke luar negeri juga akan berkurang. Karena dengan menggunakan system pertanian modern hasil yang di dapatkan akan memuaskan.maka kenapa mesti keluar negeri?’ ungkapnya.
Hal senada juga diungkapkan Chang Kuo-An, jika sudah saat Indonesia menggunakan tehnologi modern dalam pertaniannya, karena jika tidak bakal ketinggalan dengan petani-petani dari negara lain. Yang karena ketertinggalan tersebut akhirnya sangat tak masuk akal, jika negara agraris sampai mengimport beras untuk memenuhi kebutuhan pangan warganya. **t.roos

Sumber : Radar Taiwan - Maret 2010

Al-Qur'an Membuka jalan Bagi Ilmu


ALAT PERTANIAN MODERN


PERTANIAN ORGANIK SOLUSI PERTANIAN MODERN

Posisi geografis Indonesia memiliki kelebihan tersendiri dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia. Letaknya yang dilalui oleh garis katulistiwa, menjadikan Indonesia dari dulu memiliki jargon tanah yang subur makmur, gemah ripah loh jinawi. Jargon tersebut bukannya tanpa sebab karena hampir semua daratan Indonesia adalah lahan produktif bagi pertanian, dan hanya sedikit dari daratan Indonesia yang kurang memiliki kesuburan tanah di atas rata-rata. Daratan dengan kualifikasi ini umumnya terdapat di daerah-daerah timur Indonesia yang tekstur tanahnya cenderung berbatu dan kering. Namun demikian, daerah tersebut justeru memiliki potensi bagi tumbuhnya tanaman-tanaman khas, seperti Jagung, jambu mete, pohon lontar dan lain sebagainya, dimana tanaman-tanaman tersebut juga memiliki potensi pasar yang sangat besar bagi peningkatan ekonomi bangsa.
Letak geografis yang memberikan kesuburan tanah Indonesia ternyata tidak selalu berbanding lurus dengan capaian hasil-hasil pertanian yang membanggakan. Terbukti, sampai sekarang ini Indonesia belum mampu untuk berswasembada beras yang posisinya adalah sebagai kebutuhan pokok bagi mayoritas masyarakat Indonesia. Tentu kalau menilik potensi SDA yang ada bukan faktor tersebut yang mengakibatkan produktifitas pertanian di Indonesia berjalan lamban, yang perlu mendapat sorotan adalah program atau sistem pertanian yang dikerjakan di Indonesia.
Jika memperhatikan sistem pertanian di Indonesia, sebagian besar masih dikerjakan secara tradisional (untuk tidak menyebut “seadanya”), dimana posisi petani adalah orang yang paling berkepentingan terhadap sistem pertanian itu sendiri. Thus, pertanian Indonesia seakan hanya untuk memenuhi kebutuhan skala mikro an sich, yaitu petani dan keluarganya. Padahal, seyogyanya Indonesia dengan lahan pertanian 191.946.000 ha mampu menjadi lumbung pangan dunia yang pada saat sekarang ini kebutuhan akan bahan pangan dunia terus meninggi (Kompas, 7 Februari 2011), dan tidak sebaliknya Indonesia justeru memperkeruh kondisi pangan dunia dengan melakukan kebijakan fiskal dengan peniadaan bea masuk impor pangan, ini artinya pemerintah sama saja tidak mengutamakan produktifitas pangan nasional.
Sistem pertanian tradisional semacam ini pasti sangat sulit untuk berkembang, dan petani (baik pemilik apalagi penggarap lahan) akan selalu jauh dari kemakmuran. Bisa dibayangkan bagaimana kondisi ekonomi petani Indonesia yang mengandalkan pertanian sebagai satu-satunya gantungan hidup, ketika mereka sedikit saja keluar dari wilayah makan untuk memenuhi kebutuhan skundernya maka hasil pertanian itu sungguh tidak signifikan.
Mensejahterakan petani Indonesia dengan total penduduk 260 juta jiwa dimana 41 juta penduduknya adalah petani memang tidaklah mudah, setidaknya dibutuhkan konsep pertanian besar tetapi tetap merakyat, sehingga muara kemakmuran adalah pada petani, bukan pada tengkulak atau pedagang agribisnis semata. konsep pertanian rakyat hemat penulis memiliki konsep yang sederhana, meliputi pengelolaan pertanian (termasuk pengolahan lahan dan perlakuan tananaman) serta pengelolaan pasca panen.
Bagaimana kondisi petani pada saat pengelolaan pertanian? Tidak asing terdengar di telingah kita ketika memasuki musim tanam, petani akan dihantui oleh sejumlah kelangkaan. Mulai dari kelangkaan pupuk, kelangkaan bibit dan terkadang kelangkaan obat-obatan. Padaha ketersediaan Pupuk, Bibit dan Obat-obatan merupakan bagian tidak terpisahkan dari pertanian (rakyat), ketika satu saja dari elemen tersebut tidak tersedia maka hasil pertanian –pun tidak akan maksimal. Kelangkaan bibit mendorong petani untuk menggunakan bibit seadanya yang tidak memenuhi standar mutu benih, sehingga bisa dipastikan tanaman yang tumbuh-pun tidak memiliki kualitas yang baik. Demikian juga dengan minimnya ketersediaan pupuk di petani, akan menjadikan tanaman yang ditanam merana dengan masa depan panen yang tidak jelas.
Belum terkawalnya regulasi pemerintah tentang pendistribusian pupuk serta obat-obatan sampai ditangan petani merupakan persoalan serius yang harus segera diselesaikan, sehingga terhindar dari permainan oknum tidak bertanggungjawab memanfaatkan momentum kebutuhan tersebut untuk “lebih mencekik leher petani” dengan menimbun serta menjual kebutuhan pertanian dengan harga tinggi.
Petani di Indonesia memang sebagian besar belum bisa melepaskan diri dari ketergantungan pupuk dan obat-obatan kimia. Walaupun untuk jangka panjang, pertanian dengan menggantungkkan pada pupuk dan obat-obatan kimia akan semakin memperpuruk kondisi kesuburan tanah dan kerentanan akan serangan hama dan penyakit.
Penggunaan pupuk kimia memang menjadikan tanah pertanian subur secara instan, karena unsur hara yang mensuplai kesuburan tanah tidak ikut terbaharui dengan penggunaan pupuk kimia ini. Oleh karenanya, penggunaan pupuk kimia tidak ubahnya sebagai suplemen yang memforsir kesuburan tanah dalam waktu singkat tanpa menghiraukan ketersediaan unsur hara yang masih dikandung oleh lahan pertanian tersebut. Kondisi ini lambat laun akan mengikis kesuburan tanah/lahan yang terus dieksploitir.
Setali tiga uang, penggunaan pestisida dan obat-obatan kimiawi memang dengan cepat mampu mengusir hama dan mengobati penyakit tanaman. Namun, sampai kapan hama dan penyakit itu mempan dengan obat-obatan kimiawi tersebut? Sebab hama dan penyakit lambat laun akan membangun kekebalan tubuh terhadap obat-obatan kimia. Meracik dan menciptakan bahan kimia baru juga bukan merupakan solusi tepat untuk mengatasi hal ini, sebab disamping keevektifitasan-nya yang tidak sebanding dengan perkembangan hama dan Penyakit, unsur kimia dalam pestisida ini juga tidak bisa hilang pada hasil produk pertanian yang akan dikonsumsi oleh manusia. Jadi produk pertanian dengan menggunakan pestisida kimiawi cenderung mengarah pada makanan yang tercemar.
Beberapa negara telah memberlakukan peraturan ketat tentang bahan pangan yang mengandung kimiawi ini. Sejalan dengan hal tersebut maka banyak negara yang hanya mau mengimpor bahan makanan yang bebas dari unsur kimiawi.
Pertanian Organik sebagai Solusi
Melihat perkembangan dunia pangan khususnya produk pertanian dewasa ini, sudah menjadi keharusan apabila pertanian dilaksanakan secara organik. Potensi mengembangkan pertanian organik di Indonesia pun terbilang sangat terbuka lebar, hal ini karena tersedianya berbagai unsur tanaman yang berfungsi sebagai pupuk organik maupun pestisida nabati serta memungkinkan berkembangbiaknya musuh alami (Predator) bagi pengendalian siklus hidup hama dan penyakit.
Pupuk organik (kompos) sudah tidak asing lagi bagi petani-petani di Indonesia. Pada era pertanian klasik kompos yang biasanya terbuat dari kotoran hewan maupun sisa-sisa tumbuhan yang telah membusuk digunakan sebagai bahan andalan penyubur tanaman. Seiring dengan maraknya penggunaan pupuk kimia keberadaan pupuk organik pun mulai ditinggalkan oleh para petani.
Begitu-pun dengan perkembangan hama dan penyakit , banyak yang menilai hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor , seperti ; anomali cuaca dan rusaknya ekosistem alam. Tetapi meningkatnya hama dan penyakit tanaman dewasa ini juga tidak menutup kemungkinan karena berkurangnya musuh alami (predator) di alam bebas, sehingga terjadi ketidak seimbangan ekosistem. Contohnya; mewabahnya hama tikus dikarenakan populasi ular yang sudah langka, mewabahnya wabah belalang karena menurunnya populasi burung pemakan belalang, dan lain sebagainya.
Disamping penggunaan musuh alami untuk pengendalian hama dan penyakit, penggunaan pestisida nabati juga sangat mungkin untuk diterapkan. Indonesia memiliki varitas tumbuhan obat untuk penggunaan pestisida nabati. Penggunaan pestisida nabati ini juga sudah tidak asing lagi penggunaannya oleh para petani tradisional. Seperti penggunaan tembakau untuk mengusir hama wereng dan lain sebagainya. Di era sekarang ini pun semakin banyak ditemui beberapa ekstrak tanaman untuk menanggulangi hama dan penyakit, seperti penggunaan ekstrak lengkuas untuk pengendalian penyakit layu pada pisang, ekstrak daun siri untuk mengurangi kebusukan pada buah salak dan tentunya masih banyak lagi model pengendalian hama terpadu dengan menggunakan teknik non kimiawi dengan menggunakan ektraks tumbuhan yang berfungsi untuk mengendalikan Hama dan Penyakit pada tanaman.
Pertanian organik memang tidak memberikan reaksi instan pada hasil-hasil pertanian, akan tetapi dengan pelaksanaan pertanian organik akan membawa pertanian berjangka panjang dan memberikan solusi bagi tersedianya bahan pangan yang sehat. Oleh karena itu di era pertanian modern sekarang ini, penerapan pertanian organik mutlak diterapkan, secara gradual dan sistematis para petani sedikit demi sedikit dikurangi ketergantungannya terhadap bahan-bahan kimia.
Penerapan pertanian organik bisa berjalan dengan beberapa syarat : pertama, ada political will dari pemerintah dengan penerapan program-program pertanian organik, kedua, didukung oleh tenaga penyuluh yang kompeten dan langsung terjun ke lapangan (petani), ketiga, bekerja sama dengan lembaga riset/perguruan tinggi untuk mendapatkan temuan-temuan baru di bidang pertanian organik. Kerjasama dengan peneliti dan Perguruan Tinggi ini penting agar penemuan-penemuan hasil penelitian iitu dapat diaplikasikan dalam bentuk nyata didunia pertnian, bukan hanya sebagai karya ilmiah yang dibukukan dan dijadikan referensi di perpustakaan-perpustakaan tanpa aplikasi nyata.
Dengan terlaksanananya sistem pertanian organik, berarti lepasnya ketergantungan petani dari pupuk dan obat-obatan kimia, masa depan pertanian di Indonesia akan semakin baik, para petani bisa mandiri serta produk pertanian jelas semakin berkualitas. Semoga.
 
Sumber : SOLOKURO